Setelah menaruh bola di ujung garis se-per-empat bulat tendangan pojok, Muhamad Azih sesaat melihat bola sebelum ia kemudian kembali melihat rekannya yang mencoba bergerak menghindari jagaan pemain Indonesia. Ditendangnya bola itu menuju kerumunan pemain yang berhasil dikonversi menjadi gol oleh tandukan Thanabalan Nadarajah yang lolos dari penjagaan Ricky Fajrin ke arah kiri gawang Satria Tama. Stadion Shah Alam pecah. Lebih dari 70.000 pendukung Negeri Jiran bergembira dengan teriakannya. Seketika kami terdiam, merasa tertusuk. Seolah tak percaya pada gol yang terjadi 3 menit sebelum injury time. Semenit kemudian, masih dalam euforia gol, kami terhentak. Sebuah petasan meledak bak bom persis di belakang gawang Malaysia. Kiper mereka terjatuh.
***
Tak ada persiapan, semua dadakan. Setelah menaklukkan Kamboja pada Kamis, 24 Agustus dengan skor 2-0, tim sepakbola U-23 Indonesia ternyata dikabarkan melawan tuan rumah SEA Games 2017 pada Sabtu, 26 Agustus. Terbesit pikiran becanda, “Kalo berangkat kayaknya seru, lawannya tuan rumah, mau coba gimana rasanya away dukung timnas di kandang lawan.” Pernah sekali saya baca bagaimana sensasi saat mendukung timnas di kandang lawan dari salah satu tulisan Pangeran Siahaan, saat mendukung timnas di Malaysia atau Filipina (saya lupa tepatnya tahun berapa).
Pikiran becanda ini saya curahkan ke kakak saya melalui WhatsApp, “Mas, #awayday, yuk,” pada malam Jum’at, 24 Agustus. Ia merespon negatif karena pertimbangan tiket pesawat yang mahal. Selang beberapa menit kemudian, ia balas chat saya dengan informasi harga tiket yang cukup murah untuk H-2 penerbangan. Pada Jum’at pagi, kami beli tiket untuk penerbangan Sabtu, jam 09.05, tanpa kejelasan tiket nonton di stadion. Modal nekat.
Jum’at siang, kami masih belum mendapatkan kejelasan tiket. Akhirnya saya ikuti saran akun Twitter @infosuporter untuk mengikuti group WhatsApp yang dibuat khusus untuk suporter timnas yang ingin bertandang ke Malaysia. Dari situlah saya menghubungi salah satu suporter yang telah mengikuti pertandingan sejak melawan Kamboja yang dengan baik hati menyisihkan 2 tiket untuk saya dan kakak saya. “Tapi saya minta tunjukkin Mas punya tiket pesawat. Prioritas saya yang memang datang dari Jakarta,” ucapnya melalui chat sebagai syarat mendapatkan tiket nonton.
***
Hanya membawa backpack (karena rencana kami hanya 2 malam), kami menuju Soetta dengan Damri. Dari grup WhatsApp, terhitung absen yang berangkat jam 9 pagi itu sekitar 20 orang. Sesampainya di boarding room memang betul, malah menurut saya lebih banyak. Kami berkumpul layaknya teman lama, bertukar informasi 5W+1H. Flight agak terlambat sehingga kami baru terbang jam 10, lalu sampai pukul 12.45 waktu Malaysia (satu jam lebih cepat dari WIB) dengan durasi terbang 1 jam 45 menit.
Sampai di sana suporter yang mencapai 20an orang langsung berpencar dengan tujuan masing-masing. Sedangkan saya dan kakak saya membuat kelompok kecil sebanyak 8 orang. Tujuan kami adalah menuju Bukit Bintang (BB) untuk mengambil tiket baru kemudian menuju Stadion Shah Alam. Setelah mengganti operator Malaysia (karena roaming mahal), langkah kami sempat terhenti 1 setengah jam di imigrasi karena padatnya antrian.
Pukul 14.30, akhirnya kami lewati imigrasi dan memutuskan untuk menggunakan layanan transportasi Grab dari bandara (KLIA) untuk menuju BB. Sebenarnya naik transportasi umum yang telah disediakan pemerintah Malaysia dengan sangat baik seperti kereta atau bis juga bisa, dengan catatan mempunyai waktu yang senggang. Pertimbangan kami adalah kami harus ke BB sesegera mungkin (karena teman-teman di sana telah menunggu). Apalagi jarak dari KLIA menuju BB sejauh 57 km. Berhasil kami tempuh dengan GrabCar dalam waktu ± 1 jam, dengan ongkos 65 + 20 (tol) Ringgit Malaysia (RM) per mobil. Satu mobil diisi 4 orang.
Sampai di BB kami rehat sejenak untuk makan mie atau nasi goreng dan minum teh tarik khas Malaysia itu. 7 orang teman kami yang telah menunggu, memberikan tiket masuk stadion seharga 21 RM. Selesai briefing, pukul 16:45 kami putuskan untuk berangkat ke stadion Shah Alam. Sebagian besar dari kami menitip tas yang berisikan baju di kosan salah satu suporter yang kerja di sana, mengantisipasi beratnya bawaan jika keadaan terburuknya dikejar pendukung tuan rumah. Sebanyak 8 orang naik 2 mobil rentalan, saya dan kakak saya bersama 4 orang naik Grab 6 seater. Jarak BB ke Shah Alam 30 km, dengan ongkos 55 + 4 (tol) – 6 (promo code) RM.
Karena lalu lintas yang macet, disebabkan oleh banyaknya suporter tuan rumah yang menuju stadion, kami baru sampai di stadion sekitar pukul 18.00. Kami diturunkan di selatan stadion, tepatnya di SPBU Petronas, seksyen 13. Kata supir Grab, ini jadi tempat penumpang turun dan naik ketika ada pertandingan karena letaknya yang strategis. Setelah turun kami lanjutkan dengan berjalan ± 1 km dari selatan stadion menuju pintu barat, tempat masuk suporter Garuda.
Sampai di kuadran A stadion, saya takjub melihat bagaimana antusiasme orang Indonesia yang ingin membela timnasnya bertanding. Seketika saya recall keramaian pada AFF 2010 melawan Filipina di SUGBK. Saya jadi merasa di rumah sendiri. Ramainya suporter tak bisa terlepaskan dari banyaknya orang Indonesia yang memang bekerja di sana.
Setelah menunggu teman-teman yang menggunakan mobil rental parkir, akhirnya pukul 18.40 kami re-group ber-15 di kuadran A. Kami tidak langsung masuk, karena salah satu teman kami menunggu 2 orang yang menitip tiket padanya. Ini yang menjadi kendala. Mungkin pembaca banyak yang berpikir, “Kenapa dari KLIA enggak langsung ke stadion Shah Alam saja buat janjian ngasih tiketnya?”
Terlalu banyak orang, buruknya sinyal smartphone, serta tunggu-tungguan yang bisa saja berakibat tidak dapat masuk ke stadion karena penuh. Maka teman kami berinisiatif bertemu di BB. “Pas kemarin lawan Kamboja janjian ketemuan di stadion, chaos, makanya lebih baik ketemu dulu di BB ambil tiket,” katanya. Karena ketidakjelasan kabar dari 2 orang ini dan terlalu lama menunggu, dengan berat hati kami putuskan untuk meninggalkan mereka.
Saat pengecekan, kami tidak diperbolehkan membawa botol minum plastik. Teman saya yang membawa tumblr pun harus dititipkan dulu, baru setelah pertandingan diambil kembali. Mungkin dengan alasan di dalam ada pedagang yang menjual minuman maupun makanan. Jarak dari pengecekan ke mulut stadion sekitar 100 meter. Sampai akhirnya kami masuk, dan sadar bahwa jumlah kami amat sedikit dibandingkan suporter seberang.
Isi stadion didominasi oleh warna hitam-kuning. Mereka sudah mulai melakukan pemanasan pita suara untuk meneriaki kami. Padahal kick off baru akan dimulai 75 menit lagi. Kami duduk di grandstand right, tepatnya di sebelah tribun barat. Tribun di atas dan kanan (tribun selatan) kami memang dikosongkan. Mungkin antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pikir saya.
Pukul 19:45, satu jam sebelum kick off, pemain dari kedua tim masuk untuk melakukan pemanasan. Kami pun tak mau kalah, sebisa mungkin suara ini teriak sekencang-kencangnya agar membakar semangat mereka. Tetapi tetap saja, ada rasa kagum sekaligus ciut ketika Ultras Malaya menampilkan koreografi serta chants yang menyamarkan suara kami. Mereka Ultras Malaya, memimipin nyanyian untuk kemudian diikuti semua suporter Negeri Jiran.
Tepat ketika pemain-pemain selesai pemanasan, saat itu juga di tribun selatan, tribun sebelah kanan kami, dimasuki oleh suporter Malaysia yang berlarian seakan telah melakukan ‘jebolan’. Yang tadinya tribun itu kosong, seketika terisi penuh. Hal ini menimbulkan rasa ngeri dan terancam yang semakin kuat. Perasaan yang tak akan bisa dirasakan di stadion sendiri apalagi di depan televisi.
Pukul 20:38, para pemain masuk ke lapangan disusul sorak sorai gembira seisi stadion. Negara kami diberi giliran pertama untuk menyanyikan lagu kebangsaan. Rasa merinding sekaligus bangga muncul. Apalagi ini di kandang lawan. Akhirnya saya mengerti mengapa pemain sampai-sampai ada yang menangis saat menyanyikannya.
Kami lantangkan Indonesia Raya dengan khidmat tanpa ada pelecehan dari mereka. Begitu juga sebaliknya. Saat mereka menyanyikan lagu kebangsaannya, kami diam dan kagum bagaimana suara mayoritas stadion menggema senada dengan instrumen. Beberapa suporter kami pun ada yang ikut bernyanyi, pertanda mereka telah lama tinggal di sana.
7 menit berselang pertandingan dimulai. Ultras Malaya memimpin chants mereka dengan teriakan, “MA-LAY-SIA!”. Kami tak mau kalah dengan membalas, “IN-DO-NE-SIA!”, diselingi viking war chant ala Islandia, dan nyanyian Garuda Di Dadaku. Pertandingan pertama diakhiri dengan skor kacamata. Kedua tim seimbang saling menyerang. Malaysia dibuat tak berdaya dengan zonal marking Indonesia, sedangkan Indonesia kurang baik dalam final third mereka. Penyakit lama yang tak sembuh-sembuh bahkan cenderung kambuh: penyelesaian.
Ketika babak kedua dimulai, banyak bangku stadion yang masih kosong. Kebanyakan dari suporter kedua tim, termasuk kami, memutuskan untuk membeli minum untuk mengatasi dehidrasi. Makanan juga dibeli buat ganjal perut yang mulai ribut. Pertandinganpun berjalan alot. Sesekali kami menahan nafas dan berhenti dari nyanyian kami ketika kami sedang terserang, tak jarang juga kami marah-marah sendiri karena kegagalan passing dan eksekusi saat menyerang.
86 menit berlalu dapat disimpulkan Garuda Muda memang lebih mendominasi pertandingan dengan penguasaan bola sebesar 57%. Evan Dimas sangat aktif membantu saat bertahan maupun menyerang. Hanif Sjahbandi, partner Evan Dimas, yang ditugaskan menggantikan peran Hargianto, terlihat kurang apik karena beberapa kali saya lihat melakukan passing error. Febri Haryadi di flank kiri buat ketar-ketir bek Malaysia dengan skill dan pace bintang limanya.
Hingga akhirnya menit 87, Malaysia mendapatkan tendangan pojok. Entah kenapa saat itu saya langsung menutupi setengah muka saya dengan baju. Segala tendangan mati dari awal pertandingan memang membuat kami, para suporter, gugup. Apalagi tendangan pojok kali ini. Semakin guguplah kami karena berada di penghujung waktu normal. Kami menahan nafas.
Selang beberapa detik setelah Muhamad Azih, gelandang tengah mereka, menendang bola, nafas kami tertahan tak menghela. Penyerang mereka, Thanabalan Nadarajah, yang akhirnya menjadi top skorer dengan total 4 gol, berhasil lolos dari jagaan Ricky Fajrin untuk selanjutnya menanduk bola ke arah kiri gawang Satria Tama. Setelah gol terjadi, saya tutupi kepala dengan baju saya selama beberapa detik.
Saya tak melihat bagaimana reaksi sekitar saya pada saat itu. Yang jelas kami semua lemas. Suporter mereka yang berada di tribun atas seketika berlari lalu menengoki kami yang di bawah sambil berteriak kegirangan. Saya dan beberapa teman saya sempat terpancing emosi, dengan meneriaki kembali mereka. Tapi apa daya, suara dari seisi stadion tak akan bisa kami tembus.
Kami yang masih sibuk meneriaki mereka di tribun atas, yang sempat melempari kami botol air mineral, dikagetkan oleh suara petasan bak bom meledak tepat 10 meter di belakang gawang Malaysia, sekitar 100 meter dari tribun kami, disusul teriakan seisi stadion suporter Malaysia. Perasaan terancam kami, tepatnya saya, saat itu amat tinggi. Saking besarnya ledakan saya kira itu bom. Mungkin bukan kami sebagai suporter saja yang diciutkan dengan petasan tersebut, tetapi para pemain khususnya.
Gavin Kwan yang pada saat itu sedang pemanasan dengan Miguel Gandia, pelatih fisik timnas, di belakang gawang Malaysia, langsung berlari mencari perlindungan menuju bench. Ternyata Gavin Kwan terkena ledakan tersebut hingga melukai betis kirinya. Kiper Malaysia juga terjatuh kesakitan memegangi mukanya. Tim medis sampai masuk ke lapangan untuk mengecek apakah cideranya parah. Selang beberapa waktu, ia kembali berdiri melanjutkan pertandingan.
Pertandingan dilanjutkan dengan tambahan waktu 5 menit. Layaknya tim yang telah unggul, pemain mereka cenderung membuang-buang waktu ketika bola throw-in atau goal kick. Indonesia mendapatkan satu kesempatan emas melalui tendangan pojok. Tetapi gagal dikonversi dengan baik. Hingga akhirnya kesempatan terakhir pada menit 96, Saddil Ramdani melakukan lob pass kepada Osvaldo Haay, gagal diintercept oleh pemain Malaysia, hingga bek mereka, Irfan Zakaria, melakukan tekel yang cukup keras kepada Osvaldo Haay.
Kami berteriak. Berharap wasit memberikan tendangan penalti. Tapi wasit terlalu naif untuk memberikan penalti kepada lawan dari tuan rumah di penghujung waktu. Sekilas penguasaan bola antar kedua pemain memang 50:50, tapi menurut saya bola itu cenderung dimiliki Osvaldo Haay. Mungkin sang wasit berpikir daripada diamuk 70.000 penonton, mending tidak saya kasih. Setelah goal kick, peluit panjang resmi dibunyikan. Seketika para Garuda Muda ini roboh terlentang. Sebagian dari kami memilih juga untuk diam, masih tak percaya gol yang terjadi 10 menit yang lalu.
Lain halnya dengan Aliansi Suporter Indonesia di Malaysia yang sejak awal memimpin chants. Mereka memilih untuk membakar semangat kami kembali dengan viking war chant. Tetapi banyak dari kami yang masih menatap kosong ke arah lapangan. Sedangkan suporter mereka masih berteriak kegirangan karena masuk final. Tak sedikit juga pemain mereka yang mencoba menghibur pemain kami yang sedang menangis.
Setelah kedua tim saling berjabat tangan, para Garuda Muda berkumpul dan memberikan ucapan terima kasih dengan mendekati kami. Kami balas terima kasih mereka dengan tepuk tangan, yang telah berusaha semaksimal mungkin menyenangkan hati kami khususnya yang datang dari kampung halaman.
Dalam suasana yang masih ramai oleh teriakan girang dari suporter mereka, kami ber-15 memutuskan untuk segera keluar dari stadion untuk kembali ke BB. Mengantisipasi tingginya arus keluar stadion yang mungkin dapat memicu kerusuhan. Di luar stadion sudah banyak polisi Malaysia siap dengan senjatanya untuk mengatasi huru-hara pasca pertandingan. Saat di luar stadionpun, kami masih mendengar chants suporter Malaysia yang larut dalam euforia masuk final.
Sekitar jam 00.30, Ahad dini hari, Alhamdulillah, walaupun macet, kami sampai dengan selamat di BB dengan waktu perjalanan ± 1 setengah jam. Kami istirahat sejenak di rumah makan yang sama sebelum berangkat ke stadion tadi, sebelum akhirnya berpisah dengan tujuan masing-masing. Ada yang pulang jam 9 pagi, jam 1 siang, sedangkan saya dan kakak saya memutuskan untuk pulang Senin jam 6 pagi.
***
Sebenarnya saya agak kecewa dengan pihak keamanan stadion yang membolehkan masuk suporter Malaysia di sebelah kanan tribun kami (tribun selatan), ditambah dengan fakta bahwa petasan yang meledak bak bom itu dilempar dari tribun tersebut. Tetapi andai kedua hal itu tidak terjadi, mungkin tulisan ini akan membosankan dan sensasi yang saya rasakan akan biasa-biasa saja. Bagaimana kami dikepung oleh suporter tuan rumah dari segala arah. Bagaimana rasa terancam itu muncul setelah petasan itu meledak, bahkan salah satu teman saya, yang masih kuliah semester 2, sampai bilang ia merasa takut dan ciut atas ledakan tersebut.
Mungkin beberapa orang ada yang berpikir, “Ngapain, sih, nonton bola sampai ke luar negeri? Kan bisa lewat TV?” Tidak sampai Anda mencobanya sendiri. Kemenangan tim yang kita dukung menurut saya hanyalah sebuah bonus.
Pertandingan sesungguhnya ada pada sensasi saat mendukung negeri bukan di kandang sendiri. Jikalau ada kesempatan dan rezeki, cobalah sesekali. Tiada rugi. Buat bahan cerita untuk anak dan istri!
Sampai jumpa di kandang lain, Ultras Garuda!